Orang Rimba merupakan salah satu komunitas masyarakat adat di Indonesia yang mendiami Taman Nasional Bukit Duabelas, Provinsi Jambi dan terletak di perbatasaan tiga kabupaten yaitu Batang Hari, Tebo dan Sarolangun.
Mereka tinggal secara berkelompok sekitar 59 kelompok dan kalau dihitung jumlah populasi mereka saat ini kurang lebih sekitar 3500 jiwa (menurut perhitungan 2010). Yang menarik dari Orang Rimba adalah mereka terkenal sangat arif terhadap lingkungan. Hingga saat ini Orang Rimba masih mempertahankan tradisi budaya dari nenek moyang yang berpusat pada hutan sebagai sumber filosofisnya.
Namun perlahan tapi pasti, ruang hidup mereka kini terancam akibat maraknya perluasan perkebunan kepala sawit ke areal Taman Nasional Bukit Duabelas. Nah seperti apa kondisi mereka saat ini? dan bagaimana Orang Rimba beradaptasi dengan masyarakat luar dengan tetap mempertahankan kelestarian hutan yang menjadi indentitas Orang Rimba?. Arie Utami* beberapa waktu berkesempatan berbincang dengan Kepala Adat Orang Rimba, Tumengung, Mijak dan Pengendum, saat mereka berada Jakarta bersama Kelompok Makekal Bersatu (KMB) untuk menyuarakan hak-hak mereka dan ancaman yang terjadi di dalam rimba tempat tinggal mereka. Berikut perbincangan mereka.
Bagaimana kehidupan Orang Rimba saat ini?
Ruang hidup kami terdesak, rimba kami terancam. Kami Orang Rimba yang tinggal di dalam bukit Duabelas yang jaraknya berkilo-kilometer jauhnya dari peradaban modern saat ini terancam karena perluasaan perkebunan sawit dan juga terdesak atas nama konservasi.
Pembukaan perkebunan sawit secara besar-besaran membuat dampak yang sangat besar bagi kehidupan Orang Rimba. Saat ini pohon-pohon untuk acara adat sulit ditemukan karena sudah berganti menjadi tanaman monokultur saja seperti sawit atau pembukaan hutan untuk perkebunan lain.
Apa yang dirasakan Orang Rimba dengan semakin sempitnya ruang hidup di Bukit Duabelas?
Orang Rimba hidup dari alam dan sangat menghormati segala bentuk pemberian dari alam. Bahkan penanda kehidupan Orang Rimba adalah sebuah pohon. Indentitas kami seperti hilang ketika pepohonan kami hilang berubah menjadi lahan perkebunan. Kehidupan kami bergantung pada bercocok tanam dan berburu. Saat ini hutan tempat kami berburu sangat sempit dan juga hewan-hewan yang dulu banyak di hutan sudah berkurang seperti rusa dan kancil.
Di sungai, air yang biasanya kami langsung minum dari sungai-sungai yang ada di hutan. Tidak ada sumur di dalam rimba. Air sungai pun tidak sembarangan. Mereka hanya minum air yang airnya bening. Bila mereka memasak air, airnya juga diambil dari sungai. Umumnya sungai di rimba airnya sangat jernih dan sangat mengundang siapapun untuk meminumnya. Implikasi dari cara Orang Rimba meminum air adalah larangan untuk buang air besar maupun kecil di dalam sungai-sungai di rimba. Mereka buang air besar di darat. Istilah untuk itu adalah bingguk.
Namun kini tak bisa lagi air sungai langsung kami minum. Perkebunan sawit menggunakan pestisida dan pupuk yang limbahnya mengalir ke sungai-sungai, tepat kami biasa mengambil air dan luasan sungai itu menjadi lebih dangkal. Sekarang air harus kami masak terlebih dahulu sebelum di minum karena limbah pestisida tersebut sangat merusak air dan tubuh kami menjadi sering sakit.
Pembukaan lahan yang dilakukan beberapa masyarakat (bukan Orang Rimba) pun menjadi salah satu ancaman untuk kami. Mereka sering membuka hutan dengan membakar. Dan hal itu sangat dilarang oleh hukum adat Orang Rimba. Walaupun dahulu kami tinggal berpindah-pindah, kami tidak diperbolehkan menghancurkan alam. Hukum adat di Orang Rimba berlaku untuk semua bahkan ketika Ketua Adat melakukan kesalahan mereka pun mendapatkan hukuman yang sama. Salah tetap salah, itulah keadilan.
Bisakah Orang Rimba beradaptasi dengan pengaruh kehidupan modern di luar?
Kehidupan kami sederhana, hanya di sebuah bilik dan hutan lah tempat kami hidup. Kami tahu kehidupan dahulu dan saat ini memang sangat berbeda tetapi kami tetap menghormati segala perubahaan. Contoh kecil belakang ini masyarakat kami banyak yang menggunakan pakaian layaknya masyarakat lain karena kami menghormati tamu yang sering berkunjung ke tempat kami.
Begitu juga yang kami inginkan untuk rumah kami, rimba kami, hutan kami di Bukit Duabelas. Masyarakat harus menghormati apa yang ada di Bukit Duabelas bersama menjaga dan menghormati seluruh isinya.
Sumpah orang Rimba : “Ber-ayam kuau, berkambing kijang, berkerbau rusa, beratap lipai, berdinding banir.” Artinya mereka pantang memakan hewan yang diternakan, dan untuk rumah mereka tidak menebang pohon.
(sumber: beritalingkungan)
0 komentar:
Posting Komentar